Sudah lama sekali ya sejak terakhir kali saya mengupdate blog ini, sekitar 2 tahun yang lalu menurut catatan blogger. Tidak apa-apa ya, toh itu kan berarti (seharusnya) banyak juga cerita yang bisa saya tuangkan di blog ini.
Mereview singkat post yang terpublikasikan di blog ini, saya seperti merunut kembali perjalanan hidup. Sejak jaman SMP saya mewakafkan diri untuk #ngeblog di blogger, persis seperti tren yang sedang berkembang kala itu. Teringat sekali saya seringkali punya segudang plan untuk menceritakan banyak hal di blog ini, namun pada akhirnya berakhir menjadi draft saja. Mending kalau sudah jadi draft di blog, ini malah cuma draft di kepala saja. Hehehehehe
Oke, sekarang fokus ke topik yang mau saya angkat, yaitu sesuai sama judul dari postingan ini. Menurut kamu, jendela yang saya maksud itu jendela apa ya? Jendela rumah, toko, kantor? Nah, jendela yang saya maksud adalah jendela bus!
Semasa kemarin kuliah, saya pastinya menjadi pelanggan tetap transportasi umum di Kota Jakarta ini. Apalagi kampus saya berada di bilangan Salemba, Jakarta Pusat yang (gausah ditanya udah pasti) macet. Hiks. Transportasi paling #murah #efisien #
Kemudian semua berubah ketika perkuliahan saya berpindah ke kampus Depok. Luar biasa senang karena bisa naik moda transportasi Commuter Line yang lebih nyaman karena arahnya melawan arus jadi sepi gitu, ehehe. Tapi gak lama, setelah itu saya harus mengurus penelitian dan skripsi kembali ke kampus salemba. Tapi ketika itu sudah ga serepot dulu karena sudah ada Gojek dan Grab (walaupun ga serame sekarang) yang menurut saya worth it banget walaupun bayar lebih banyak, tapi saya ga harus berdiri, bermacet ria, dan gonta ganti kendaraan. Lama kelamaan, Tranjakarta pun mulai terlupakan nih oleh saya.
Hingga akhirnya beberapa waktu yang lalu, saya iseng mencoba naik transportasi Transjakarta ini karena tergoda oleh pemandangan nyamannya para penumpang dari kaca jendela ketika saya sedang berpanas-panas ria di tengah kemacetan. Kok kayaknya beda ya sama jaman saya naik Transjakarta dulu?
Pagi-pagi 7.30 di hari kerja, saya di drop ke PGC dan langsung ke halte PGC dalam. Kalo gak salah ada 2 koridor di halte PGC 2 aka PGC dalam ini, PGC - Pluit dan PGC - Tanjung Priok. Karena saya pernah hilang di Pluit, jadi saya pilih Tj Priok aja deh.
Dari dulu sampai sekarang, tarif Transjakarta ga pernah naik, tetep rata 3500 rupiah. Kalau dulu jaman kuliah, kalau masuk halte sebelum jam 6 (atau jam 7 ya?) tarifnya cuma 2000. Kemudian di dalam halte biasanya ada kios kecil koran kompas yang dijajakan juga dengan harga 2000 rupiah saja. Diskon khusus pelanggan Transjakarta. Dulu (kalo lagi ga ujian) saya hobi nih beli koran paginya, lumayan buat #pasokaninformasi. Kalo lagi ujian yaaaa... Baca tentir bahan ujian :"D
Cuma bedanya adalaaah, sekarang pelanggan Transjakarta diharuskan menggunakan kartu dengan saldo elektronik. Bisa pilih pakai provider dari bank mana saja yang menyediakannya. Nah karena kebetulan waktu itu kartu Flazz saya rusak (saya selalu beli Flazz sekalian kartu poin Alfamidi), jadilah saya harus beli kartu baru. Menurut saya harganya terjangkau kok, Saya diberikan kartu BNI Tapcash seharga 40.000 dengan saldo 20.000.
Yang bikin saya senang adalah, kartu BNI Tapcash baru saya ini sudah dilengkapi dengan pelindung plastik yang tinggal saya dilengkapi dengan tali atau gantungan lain. Seringkali saya harus beli kartu uang elektronik baru bukan karena hilang, tapi karena rusak. Biasanya karena kartunya yang telanjang dan lama-kelamaan gores sana-sini, ketumpahan, kena hujan, dan akhirnya gak bisa kena sensor tap gate in. Hanya karena
Ada senang lainnya juga ketika saya diberikan BNI Tapcash dari deretan provider bank lain oleh si mbak kasir, karena isi ulang saldonya gampang! Soalnya hampir di setiap ATM BNI ada slot untuk isi ulang saldo BNI Tapcash. Senangnya gak harus nyari-nyari Alfamart untuk isi ulang saldo lagi :D
Saya menunggu bis berikutnya "dibuka" tidak sampai 5 menit saja. Karena ini halte keberangkatan pertama, jadi masih kosong daaaan langsung pada berebut posisi pewe. Sekarang sudah enak deh, di bagian depan atas mobil bus nya sudah ada running text koridor yang benar dan tidak #error lagi tulisannya. Mas-masnya juga sudah pegang papan penanda tujuan akhir bus ketika pintu dibuka. Jadi gak ada lagi deh nanya-nanya "Mas ini jurusan mana ya?"
Di dalam bisnya juga running text yang menunjukkan halte terakhir yang sudah dilalui, halte berikutnya dan jam. Kali ini senang juga karena tulisannya jelas, update per halte dan jam nya sudah gak #error seperti saat jaman saya kuliah dulu :") Sejak dulu Transjakarta juga sudah dilengkapi ruang khusus wanita (RKW) dan tempat duduk prioritas, sekarang juga masih ada kok dan sangat dijaga oleh mas-mas Transjakarta nya.
Dulu waktu masih kuliah, menurut saya pelanggan Transjakarta masih belum terbiasa dengan sistem tersebut. Kadang masih ada penumpang pria yang dengan sengaja berdiri di RKW ketika ruang umumnya mulai penuh dan luput dari penjagaan. Kadang pula tidak ada yang mau memberikan tempat duduk untuk para ibu hamil atau lansia hingga harus ditegur oleh mas-mas yang berjaga. Sekarang sudah mulai membudaya nih ke arah yang baik. Sekali lagi #sayasenang
Mau tau tempat duduk yang saya pilih? Itu loh deretan yang paling belakang, di atas mesin dan menghadap lurus ke depan. Kenapa sih saya pilih deretan ini? Karena saya bisa lihat keseluruhan isi bis dan jendela bis yang bening di kanan kiri bisa terlihat dengan leluasa banget (walaupun dihiasi kepala dan tangan yang bergelantungan kalau lagi ramai). Most favourite dari deretan belakang adalah kursi paling kiri! Karena menghadap ke jalanan dan lebih enak dipandangin, bukan ke halte yang disinggahi oleh bisnya. Hehe, pantesan kalo di film-film settingnya selalu di tempat duduk bagian itu ya.
Pagi itu Jakarta cerah banget, dan dari PGC hingga Tj Priok cuma habis 1 jam 15 menit. Koridor ini memang gak termasuk koridor yang ramai punya atau macet banget punya sih. Karena menyusuri lebih ke arah timur Jakarta bukan sentralnya dan udah agak siangan kali ya. Coba kalau naik Koridor PGC - Ancol atau PGC Harmoni, mungkin bisa 2 jam sendiri kali ya, UKI - Cawang saja bisa setengah jam sendiri (kalo agak cepet).
Teeeetapi, ketika kembali ke arah PGC. Terjadi antrian saaaaaangat panjaaaang untuk menurunkan penumpang di halte PGC dalam. Antriannya sampai setengah jam sendiri yaampun dan akhirnya kita para penumpang diturunkan lewat pintu depan sebelum sampai di halte. Mungkin karena lagi jam sepi penumpang kali ya jadi yang paling depan ngetemnya lama *emotmikir* #yakalidah #udahdijadwalintau
Sekian dulu deh buat postingan kali ini, salam kenal buat kamu yang baru berkunjung dan senang berjumpa kembali buat kamu yang sudah pernah main kesini :)
Wassalam!
0 komentar:
Posting Komentar