RSS

Writer Review: Sitta Karina


Assalamualaikuuuum

Kamu yang disana!
Iyaa kamuu yang lagi baca ini :p
Udah senyum belum hari ini?
Jangan lupa bahagia yaaa :3

Oke kita langsung aja ya. Kali ini aku mau bahas tentang beberapa penulis favorit aku yang bukunya selalu aku tunggu-tunggu tanggal terbitnya. Tapi belum pernah sampai ikutan pre order gitu sih, sampai sekarang aku masih lebih suka beli langsung. Karena bukunya toh pada booming banget jadi pasti dicetak banyak dan dicetak berulang. Gak perlu kehabisan deh :p Tapi emang sih jadinya nggak dapet tanda tangan si mbak mas penulis karena gak pre order. But it's okay. Menurutku gak perlu semua eksemplar buku punyaku harus ada tanda tangannya kan?

And now, aku bingung harus mulai darimana ya? Soalnya penulis yang selalu kucari namanya di deretan buku di toko buku itu banyaaaaaaak deh. Eh tapi jangan salah ya aku belum semantap pelahap buku lainnya yang sekali ke bookstore keluarnya bawa more than five books yang eksemplarnya >400 halaman :"D (hemat sajalah, kalau ndak dinanti sekali bukunya, cukup cari pinjam saja)

Dalam satu postingan ini aku akan bahas tentang satu penulis saja ya, karena aku kan cerewet begini kalau diceritakan sekaligus nanti kepanjangan capek baca postingnya hehe.

Aku mau mulai dari penulis yang bikin aku jatuh cinta sama buku. Namanya mbak Sitta Karina, akrab dipanggil mbak Arie, pasti udah pada gak asing kan? Aku berjumpa dengan bayi (buku) nya si mbak yang berjudul "Stila Aria 1: Sahabat Laut" waktu SMP. Berawal dari iseng pinjam bukunya teman sekelas. Untuk ukuran anak kelas 1 SMP, buku ini termasuk besar dan tebal.

Sebenarnya sebelumnya aku juga sudah mulai baca novel dan teenlit lainnya sejak sebelum lulus SD. Tau buku novel horor Bangku Kosong? Nah aku perernah selesai baca itu dalam sekali hap (tanpa jeda) waktu lagi nonton classmeeting pertandingan futsal dan kasti yang dilaksanain in a row. Novelnya kecil dan tipis kan? Beda sama Stila Aria yang lebih besar, tebal dan kertasnya lebih tipis (otomatis halamannya lebih banyak) dan fontnya juga lebih kecil.

Tapi Stila Aria ini bikin aku jatuh cinta b.a.n.g.e.t. Apik banget alur ceritanya dan waktu itu cocok sekali sama latarku karena kisahnya kisah anak SMP. Kenapa apik? Karena gak picisan seperti beberapa teenlit yang pernah aku pinjam dari perpustakaan sebelumnya. Plotnya baguuus, penokohannya dapet banget, dan yang penting: UNIK.

Menurutku untuk merancang tokoh yang unik tapi "masuk akal" butuh effort (gatau sih belum pernah coba hehehehehe) Ya maksudku, belum semua penulis bisa menunjukkannya. Stila Aria ini cakupannya luas, dari Indonesia sampai ke New Jersey. Si Mbak sukses bikin aku jatuh cinta sama tokoh utamanya, Aria, dan makin sayang sama dia seiring terus baca sampai habis.

Berawal dari Stila Aria aku mulai "memburu" bayi-bayi lucunya Mbak Arie yang lain kalau mampir bookstore. Rela menabung uang jajan untuk bisa beli bayi-bayi yang tebel. Huehehe dasar anak SMP.

Bayi berikutnya yang aku baca adalah Putri Hujan dan Ksatria Malam. Karakter fisiknya gak beda jauh sama Stila Aria, covernya cantiiiiiik banget didominasi warna pink dan ilustrasi pangeran dan putri. Kertasnya tipis (aku sih gak masalah, tapi readers lain banyak yang protes karena jadi mudah rusak), fontnya kecil dan ukuran bukunya besar. Beberapa waktu kemudian aku baru tau kalau (katanya) Mbak Arie memutuskan menggunakan tipe kertas tsb untuk mendukung pemakaian kembali kertas daur ulang. Makanya kualitas kertasnya gak setebal novel tetangga. Wow waktu itu aku kagum banget sih.

Buku ini bikin aku makin geleng-geleng kepala. Gimana enggak, Mbak Arie masukin banyak banget bahasa, istilah dan budaya asing yang bikin kita pastinya tertarik. Tapi bukan bahasa asing yang alay gitu ya, elegan kok. Huehe. Tapi bukan berarti nilai-nilai budaya tanah airnya juga hilang loh.

Sebenarnya buku PHKM ini sequel dari buku Lukisan Hujan (yang baru ku baca setelahnya). Setelah baca Titanium (langsung beli setelah terbit waktu itu kelas 1 SMA, masih si #tertebal dari mbak Arie sampai sekarang, FAVORIT) aku semakin memburu bayi-bayi lain, terutama yang lahir sebelum aku kenal sama karyanya Mbak Arie. Karena Mbak Arie menulis bukunya sebagai serial, Diaz di PHKM dan LH sepupuan sama Austin, Austin adiknya Inez, daaaan kayak jaring laba-laba deh saling bertaut. Keluarga mereka dirancang erat hingga ke sepupunya sepupu.

Hal ini bikin banyak tokoh yang muncul dan punya cerita + karakter masing-masing. Kalau udah lama gak baca, aku harus recall lagi ini siapa dan karakternya gimana. Karena "cakrawala" nya yang luas juga aku gak bisa habisin bayinya si mba dalam sekali hap. Aku tipe orang yang bacanya cepet banget, kalau bacaannya "berat" dan aku terus libas aja kayak kereta, aku sering bingung pas udah jauh.

Mbak Arie juga nulis novel lain yang lebih ringan dari sekelas teenlit, kumpulan cerpen sampai cerbung di majalah. Imaji Terindah, Pertama Kalinya, Circa. Oiya juga ada kisah fantasi loh, ini juga favorit aku, yaitu Aerial. Idenya uniiik sekali dan hampir semua aspek kesenggol. Mulai dari persahabatan, cinta, keluarga, perang-perangan, dan penggambaran latarnya yang kereeeeeen. Putrinya keren, pangerannya lebih keren lagi.

Belakangan ini suliiit sekali mendapatkan buku-bukunya (lamanya) si mba ini. Tidak ada di toko buku. Sudah dari lama sekali sudah gak dicetak :"( Aku juga nyari kok di bursa buku bekas online maupun offline, tapi harganya selangiiiit sekali, sampai 3 kali lipat harga novel tsb jika dijual di bookstore sekarang. Bahkan ga jarang juga dilelang, sedihnya.

Segitu dulu kali ya, aku jadi kebawa sedih nih, huhu
Sampai jumpa di kunjungan kamu yang berikutnya ya :)

App Review: Riliv - Curhat Dengan Psikolog


Assalamualaikum blogger bro dan sista :)

Kali ini jarak antara posting sebelumnya ke yang ini tidak sejauh sebelumnya ya? :'D
Alhamdulillah kali ini aku sedang luang dan ada bahan untuk berbagi hehe

Sebenarnya ini sudah lama banget juga, tapi baru kepikiran buat nulisnya sekarang. Jadi waktu itu saya iseng muter-muter Playstore dan bertemu dengan app yang namanya Riliv. Ini logonya aku ambil dari web Playstore:


Saya kemudian tertarik dengan aplikasi ini dikarenakan deskripsinya yang menawarkan sebagai tempat curhat, dan karena nama aplikasinya yang unik. Setelah baca-baca review pengguna dan kepo lebih lanjut, ternyata di aplikasi ini curhatan kita bukan serta merta dianggurin tetapi ditargetkan buat dapet semacam support supaya yang curhat bisa Riliv aka "relieve" gitu. 

Aplikasi model begini ternyata memang kenal sangat karakteristik penggunanya yang menghindari publikasi identitas asli dan bisa curhat dengan sesuka hati. User bebas menentukan nickname dan avatar mereka masing-masing. Toh kalau user gak keberatan di publish identitasnya, doi nggak bakal repot-repot download aplikasi baru kan, cukup berkoar di media sosial pada umumnya saja :p

Nah, kemudian saya mulai menjajaki fiturnya. Intinya disini kita bisa bercerita tentang problema, kisah tertentu atau hal lainnya (yang jelas dalam bahasa yang baik dan no SARA ya!)  pada halaman yang mirip seperti halaman Compose new mail nya Gmail. Ada tab "To:", "About", "Title" dan bagian untuk body text curhatanmu. Nanti deh aku screenshotin ya ;)

By the way, tenang aja. Gak kayak Twitter, Riliv ngasih kamu credit hingga 7000 karakter buat ditulis baik di body text maupun title nya. Untuk tab "about" itu bisa di scroll down pilihannya, field curhatan kamu apakah tentang cinta, karir, personaliti, keluarga atau pendidikan. 

Buat tab "to", ada 3 pilihan. Bisa ditujukan ke community, reliever biasa atau reliever expert gitu. (2 kategori terakhir saya agak lupa karena gak coba). Aku coba yang ke community, kalau yang ini sebenarnya hampir sama kayak beranda Facebook gitu. Curhatan kamu bisa ditanggapi oleh user Riliv lainnya yang bukan reliever nya Riliv. 

FYI relievernya Riliv adalah semacam "admin" yang bertugas men-support curhatan kamu. Tapi kan yang curhat banyak banget ya, gak mungkin kayaknya si admin balesin satu-satu banget. Si admin kan juga punya kehidupan pribadi ya nggak? Huehehe. Bytheway lagi, Riliv menegaskan bahwa admin reliever mereka adalah "volunteer" (atau magang? atau freelance? gak tau juga nyebutnya apa huhu) mahasiswa psikologi.

Lalu laluuu, 2 kategori tujuan curhatan lainnya yang reliever dan expert reliever itu, kalau mau nanya harus pakai diamonds (iconnya bentuknya begitu sih.....) yang aku gatau cara dapatnya gimana mungkin harus bayar pake metode tertentu dulu. Yang bikin aku kagum, identitas reliever mereka disini di-publish jelas banget. Nama dan fotonya terpampang jelas. Ohiya kalau para reliever mereka adalah psikolog ya! :D

Balik lagi scroll down "beranda" aplikasi ini, aku mutusin buat komen alias "give support" kalo versinya Riliv. Pas mau komen aku dapat peringatan bahwa dilarang keras "membuat down" si curhater dan nanti dia bakal bisa ngerating support aku. 1 jika dia ngerasa di-bully sampai 5 kalau dia ngerasa kebantu banget.

Gak lama kemudian aku dapat notif, ternyata si curhater nge-rating support aku bintang 5 dan membalas "komentar" alias support-ku. Aku jadi dapat semacam reward progress naik level gitu dari Riliv. 

Well, ada perasaan senang waktu aku tau si curhater ngerasa terbantu sama support aku. Apa aku daftar aja jadi relievernya Riliv ya? :p

Sebelumnya aku sudah pernah coba aplikasi anonim lainnya yang memang sempat trend seperti Secret. Tapi karena gak difilter dan terkoneksi ke Facebook, feeds yang beredar malah jadi kurang sedap dibaca oleh mata. 

Overall aku suka sama aplikasi ini, selain karena kegunaannya yang "terobosan baru", tampilannya juga bagus. Aku suka ide mempertemukan para curhaters dengan psikolog ini. Menurut beberapa kali pengamatanku (punya teman berbagi kasur tingkat dengan anak psikologi membuatku menjadi pengamat yang baik dari banyak veritanya *thumbs up*) seringkali para curhaters ini memang pengen curhat ke psikolog, tapi banyak kendalanya. 

Mulai dari malu, gak punya waktu buat datang ke kantornya si psikolog, sampai fee-nya yang mahal. Dengan aplikasi ini paling nggak, pembatas-pembatas tersebut udah gak ada kan, hanya tinggal sekali klik. (halah bahasamu kayak iklan aja toh mi). 

Satu hal yang perlu perbaikan dari Riliv adalah, push notification yang masuk gak ada keterangannya. Jadi hanya logo Riliv dan disampingnya kosong. Ketika masih jadi running text di sudut atas memang ada keterangan seperti "curhater A memberi rating support kamu" tapi kemudian di scroll down ke bawah kosong saja begitu. 

Bytheway postingan ini murni #review loh ya, tidak ada sisi endorse or paid promote ala instagram :p
Aku sama sekali gak kenal orang-orang pembuat Riliv ini dan benar-benar baru tau app ini waktu ngider di Playstore. Pas googling logo Riliv buat postingan ini juga aku baru tau kalau app ini asli #madeinIndonesia dan sepertinya merupakan hasil karya mahasiswa suatu universitas negeri. #proud


Mungkin sekian dulu kali ini, sampai ketemu di kunjungan kamu yang berikutnya ;)




Assalamualaikum dear fellas :D

Sudah lama sekali ya sejak terakhir kali saya mengupdate blog ini, sekitar 2 tahun yang lalu menurut catatan blogger. Tidak apa-apa ya, toh itu kan berarti (seharusnya) banyak juga cerita yang bisa saya tuangkan di blog ini.
Mereview singkat post yang terpublikasikan di blog ini, saya seperti merunut kembali perjalanan hidup. Sejak jaman SMP saya mewakafkan diri untuk #ngeblog di blogger, persis seperti tren yang sedang berkembang kala itu. Teringat sekali saya seringkali punya segudang plan untuk menceritakan banyak hal di blog ini, namun pada akhirnya berakhir menjadi draft saja. Mending kalau sudah jadi draft di blog, ini malah cuma draft di kepala saja. Hehehehehe

Oke, sekarang fokus ke topik yang mau saya angkat, yaitu sesuai sama judul dari postingan ini. Menurut kamu, jendela yang saya maksud itu jendela apa ya? Jendela rumah, toko, kantor? Nah, jendela yang saya maksud adalah jendela bus!

Semasa kemarin kuliah, saya pastinya menjadi pelanggan tetap transportasi umum di Kota Jakarta ini. Apalagi kampus saya berada di bilangan Salemba, Jakarta Pusat yang (gausah ditanya udah pasti) macet. Hiks. Transportasi paling #murah #efisien #nyaman kalo dari rumah saya menuju kampus itu adalah Transjakarta aka busway. Jadi saya akan di drop di kawasan PGC, kemudian bisa langsung naik Transjakarta tanpa transit hingga kampus.

Kemudian semua berubah ketika perkuliahan saya berpindah ke kampus Depok. Luar biasa senang karena bisa naik moda transportasi Commuter Line yang lebih nyaman karena arahnya melawan arus jadi sepi gitu, ehehe. Tapi gak lama, setelah itu saya harus mengurus penelitian dan skripsi kembali ke kampus salemba. Tapi ketika itu sudah ga serepot dulu karena sudah ada Gojek dan Grab (walaupun ga serame sekarang) yang menurut saya worth it banget walaupun bayar lebih banyak, tapi saya ga harus berdiri, bermacet ria, dan gonta ganti kendaraan. Lama kelamaan, Tranjakarta pun mulai terlupakan nih oleh saya.

Hingga akhirnya beberapa waktu yang lalu, saya iseng mencoba naik transportasi Transjakarta ini karena tergoda oleh pemandangan nyamannya para penumpang dari kaca jendela ketika saya sedang berpanas-panas ria di tengah kemacetan. Kok kayaknya beda ya sama jaman saya naik Transjakarta dulu?

Pagi-pagi 7.30 di hari kerja, saya di drop ke PGC dan langsung ke halte PGC dalam. Kalo gak salah ada 2 koridor di halte PGC 2 aka PGC dalam ini, PGC - Pluit dan PGC - Tanjung Priok. Karena saya pernah hilang di Pluit, jadi saya pilih Tj Priok aja deh.

Dari dulu sampai sekarang, tarif Transjakarta ga pernah naik, tetep rata 3500 rupiah. Kalau dulu jaman kuliah, kalau masuk halte sebelum jam 6 (atau jam 7 ya?) tarifnya cuma 2000. Kemudian di dalam halte biasanya ada kios kecil koran kompas yang dijajakan juga dengan harga 2000 rupiah saja. Diskon khusus pelanggan Transjakarta. Dulu (kalo lagi ga ujian) saya hobi nih beli koran paginya, lumayan buat #pasokaninformasi. Kalo lagi ujian yaaaa... Baca tentir bahan ujian :"D

Cuma bedanya adalaaah, sekarang pelanggan Transjakarta diharuskan menggunakan kartu dengan saldo elektronik. Bisa pilih pakai provider dari bank mana saja yang menyediakannya. Nah karena kebetulan waktu itu kartu Flazz saya rusak (saya selalu beli Flazz sekalian kartu poin Alfamidi), jadilah saya harus beli kartu baru. Menurut saya harganya terjangkau kok, Saya diberikan kartu BNI Tapcash seharga 40.000 dengan saldo 20.000.

Yang bikin saya senang adalah, kartu BNI Tapcash baru saya ini sudah dilengkapi dengan pelindung plastik yang tinggal saya dilengkapi dengan tali atau gantungan lain. Seringkali saya harus beli kartu uang elektronik baru bukan karena hilang, tapi karena rusak. Biasanya karena kartunya yang telanjang dan lama-kelamaan gores sana-sini, ketumpahan, kena hujan, dan akhirnya gak bisa kena sensor tap gate in. Hanya karena males lupa terus beliin sarung plastiknya si kartu.

Ada senang lainnya juga ketika saya diberikan BNI Tapcash dari deretan provider bank lain oleh si mbak kasir, karena isi ulang saldonya gampang! Soalnya hampir di setiap ATM BNI ada slot untuk isi ulang saldo BNI Tapcash. Senangnya gak harus nyari-nyari Alfamart untuk isi ulang saldo lagi :D

Saya menunggu bis berikutnya "dibuka" tidak sampai 5 menit saja. Karena ini halte keberangkatan pertama, jadi masih kosong daaaan langsung pada berebut posisi pewe. Sekarang sudah enak deh, di bagian depan atas mobil bus nya sudah ada running text koridor yang benar dan tidak #error lagi tulisannya. Mas-masnya juga sudah pegang papan penanda tujuan akhir bus ketika pintu dibuka. Jadi gak ada lagi deh nanya-nanya "Mas ini jurusan mana ya?"

Di dalam bisnya juga running text yang menunjukkan halte terakhir yang sudah dilalui, halte berikutnya dan jam. Kali ini senang juga karena tulisannya jelas, update per halte dan jam nya sudah gak #error seperti saat jaman saya kuliah dulu :") Sejak dulu Transjakarta juga sudah dilengkapi ruang khusus wanita (RKW) dan tempat duduk prioritas, sekarang juga masih ada kok dan sangat dijaga oleh mas-mas Transjakarta nya.

Dulu waktu masih kuliah, menurut saya pelanggan Transjakarta masih belum terbiasa dengan sistem tersebut. Kadang masih ada penumpang pria yang dengan sengaja berdiri di RKW ketika ruang umumnya mulai penuh dan luput dari penjagaan. Kadang pula tidak ada yang mau memberikan tempat duduk untuk para ibu hamil atau lansia hingga harus ditegur oleh mas-mas yang berjaga. Sekarang sudah mulai membudaya nih ke arah yang baik. Sekali lagi #sayasenang

Mau tau tempat duduk yang saya pilih? Itu loh deretan yang paling belakang, di atas mesin dan menghadap lurus ke depan. Kenapa sih saya pilih deretan ini? Karena saya bisa lihat keseluruhan isi bis dan jendela bis yang bening di kanan kiri bisa terlihat dengan leluasa banget (walaupun dihiasi kepala dan tangan yang bergelantungan kalau lagi ramai). Most favourite dari deretan belakang adalah kursi paling kiri! Karena menghadap ke jalanan dan lebih enak dipandangin, bukan ke halte yang disinggahi oleh bisnya. Hehe, pantesan kalo di film-film settingnya selalu di tempat duduk bagian itu ya.

Pagi itu Jakarta cerah banget, dan dari PGC hingga Tj Priok cuma habis 1 jam 15 menit. Koridor ini memang gak termasuk koridor yang ramai punya atau macet banget punya sih. Karena menyusuri lebih ke arah timur Jakarta bukan sentralnya dan udah agak siangan kali ya. Coba kalau naik Koridor PGC - Ancol atau PGC Harmoni, mungkin bisa 2 jam sendiri kali ya, UKI - Cawang saja bisa setengah jam sendiri (kalo agak cepet).

Teeeetapi, ketika kembali ke arah PGC. Terjadi antrian saaaaaangat panjaaaang untuk menurunkan penumpang di halte PGC dalam. Antriannya sampai setengah jam sendiri yaampun dan akhirnya kita para penumpang diturunkan lewat pintu depan sebelum sampai di halte. Mungkin karena lagi jam sepi penumpang kali ya jadi yang paling depan ngetemnya lama *emotmikir* #yakalidah #udahdijadwalintau

Sekian dulu deh buat postingan kali ini, salam kenal buat kamu yang baru berkunjung dan senang berjumpa kembali buat kamu yang sudah pernah main kesini :)

Wassalam!
Copyright 2009 It's My World, My Room, and My Shout. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy